Rabu, 30 April 2014

Sejarah Pulau Rupat

Sejarah Pulau Rupat
Sejarah Pulau Rupat , Pulau Rupat,Pantai Pasir .



Pulau Rupat, salah satu beranda Indonesia yang terletak di gugusan dalam Kabupaten Bengkalis. Luas pulau ini hanya 1.500 km persegi, atau tiga kali lebih luas dari negara Singapura.
Menuju pulau terluar hanya bisa mengandalkan transportasi laut. Pelabuhan Sungai Duku menjadi titik perjalanan menuju Rupat.
Ada transportasi umum yang menyediakan jasa langsung menuju Rupat,dari Sungai Dumai langsung menuju ke Pajak bagian utara pulau Rupat dengan menggunakan jupiter express,dan kita juga bisa menggunakan sepeda motor dari dumai melalui penyebrangan RO-RO.
Pulau Rupat terbagi menjadi dua kecamatan, Rupat dan Rupat Utara. Menelusuri pulau ini seperti pergi ke tanah asing. Suasana tradisional dan infrastruktur terbatas jadi potret keseharian.
Masyarakat Rupat menyandarkan kehidupan pada alam. Hampir  di setiap sudut, kebun sawit dan karet tumbuh menutup pandangan. Transportasi dan jarak yang jauh ke ibukota, menyebabkan mereka lebih memilih menjual hasil panen ke Malaysia. Belum lagi harga yang ditawarkan lebih tinggi.
Perjalanan belum lengkap jika tak menjelajah ke Rupat  Utara, bagian pulau ini yang dekat dengan Malaysia. Jalan rusak dan berdebu jadi pemandangan selama perjalanan. Sepeda motor menjadi satu-satunya alat transportasi di sini.
Mencapai Rupat Utara, tim harus menyeberangi sejumlah anak sungai. Begitulah masyarakat setiap harinya untuk mencapai Desa Pangkalan Nyirih, Selat Morong.
Belum lama menyusuri jalan tanah, Untuk menyeberang ke Desa Kadur,
Perjalanan panjang dan melelahkan, membawa saya sampai ke Rupat Utara. Pantai Panjang, seperti lukisan alam nan indah dengan pasir putihnya yang menghampar sejauh 13 kilometer.Keseharian masyarakat Rupat Utara adalah tayangan televisi asal Malaysia. Untuk menangkap siaran negeri jiran hanya butuh antena biasa, sementara untuk menangkap siaran negeri sendiri harus butuh biaya yang tinggi dengan memasang parabola.
Suasana berbeda, ketika tim tiba di perkampungan Tanjung Medang. Wilayah ini didominasi etnik Tionghoa. Altar sembahyang dan bendera leluhur terpasang di sudut halaman.
Masyarakat di sini kebanyak jadi penderas karet, atau budidaya sarang walet. Tapi sayang, semua hasilnya dibawa ke Malaysia. Pertimbangan jarak yang membuat itu terus berlangsung hingga sekarang.
Sepertinya, Malaysia lebih dikenal dibandingkan Indonesia bukan karena lebih makmur, tapi lebih pada kebutuhan hidup.
Di Teluk Rhu, tim menyambangi perkampungan nelayan. Banyak warga Rupat Utara di sini yang berkerabat dengan warga Malaysia seprofesi.Kedekatan lokasi, tingginya aktivitas perdagangan antara warga Rupat Utara dan Malaysia, membuat alat tukar di sini banyak pilihan. Bisa Rupiah, bisa Ringgit.di sana kita temui hal yang unik , kebanyakan penduduk menggunakan kendaraan roda dua asal Malaysia.Desa Titi Akar, berlokasi di jantung Pulau Rupat. Suku Akit, etnis pertama yang mendiami pulau ini. Perjalanan pun hanya bisa melalui jalur laut. Dermaga Titi Akar menyambut kedatangan saya dengan warna merah menyala.
Cin Buk Kiong, kelenteng paling tua di Provinsi Riau menjadi sejarah masuknya etnik Tionghoa di Rupat. Kelenteng ini dibangun dengan bahan bangunan dari negara tetangga. Genteng asal Malaysia dan batu bata asal Singapura.Ketergantungan yang tak akan pernah bisa  
lepas.

Ragam tinggalan arkeologis di Pulau Rupat
Tinggalan arkeologis dan catatan etnografis di DAS Selat Morong
Di DAS Selat Morong bagian barat terdapat Desa Titi Akar yang termasuk dalam 
wilayah Kecamatan Rupat Utara. Masyarakat yang berdiam di Desa Titi Akar sebagian 
keturunan etnis Cina, dan sebagian adalah masyarakat yang telah lama menghuni 
Pulau Rupat dikenal dengan masyarakat Akit dari kelompok  ratas. Keturunan etnis 
Cina sudah cukup lama tinggal di Desa Titi Akar, sebagian besar bermatapencaharian 
di bidang perdagangan. Masyarakat keturunan etnis Cina umumnya memeluk agama 
Buddha. Salah satu bukti komunitas ini telah berdiam cukup lama di desa itu adalah 
keberadaan kelenteng yang merupakan bangunan suci masyarakat Cina. 
Kelenteng Cin Buk Kiong, sekitar 200 m di sebelah selatan Kantor Kepala Desa Titi 
Akar. Kelenteng di tepi sungai Selat Morong  ini berada di  pemukiman penduduk. 
Kelenteng Kong Hu Cu ini merupakan bangunan lama yang sudah berdiri sekitar 125 
tahun yang lalu. 
Kondisi bangunannya sudah mengalami beberapa kali renovasi. Bangunan kelenteng 
berdinding tembok  sejak 50 tahun yang lalu ini sebelumnya berdinding papan kayu. 
Bata dan lantai lama diganti ketika dilakukan renovasi sekitar dua tahun yang lalu dan 
kini disimpan di gudang. Barang-barang tersebut didatangkan dari luar negeri. Pada 
bata-bata itu terdapat tulisan  made in Singapore, sedangkan lantai batu granit 
didatangkan dari Cina.  64
Bangunan kelenteng terdiri dari ruang utama dan beberapa ruangan penunjang. Pada 
ruangan utara terdapat beberapa arca pemujaan,  seperti arca dewa tiga bersaudara 
Tio Wan Soe (panglima perang dengan wahana harimau berada di tengah),  Khong 
Wan Soe,  dan To Shi Kong. Selain arca juga disimpan senjata-senjata yang 
merupakan atribut dewa berupa kapak, pedang (kuan ta), bola duri (ci kiu), gada (kun), 
pedang ikan gergaji (kian sua kian). Senjata-senjata tersebut merupakan peralatan 
yang digunakan pada saat dilakukannya upacara-upacara dalam ajaran Kong Hu Cu.
Makam Cina/Bong, letaknya sekitar 150 meter sebelah utara kelenteng pada areal 
seluas 12.000 m
2
. Di tempat tersebut terdapat Ban Ho Khong, yaitu tempat ritual yang 
diselenggarakan  setahun sekali. Umumnya makam-makam yang ada dibangun 
disesuaikan dengan Hong Sui, yaitu pembangunan makam di bagian atasnya harus 
terbuka tidak disemen. Kemudian di bagian depannya tempat meletakkan altar, 
lantainya dibangun melandai ke arah dalam.
Makam Suku Akit,  dibatasi parit selebar 1 m, di sebelah utara pemakaman Cina 
adalah  makam masyarakat Akit.  Bentuk cungkup di bagian atas makam menandai 
keberadaan makam-makam  itu. Makam  berorientasi timur-barat, bagian kepala di 
barat, dan bagian kaki di timur.
Masyarakat Akit yang tinggal di Desa Titi Akar sebelumnya penganut kepercayaan 
animisme/dinamisme namun kini sebagian besar telah memeluk agama Buddha. 
Masuknya pengaruh agama Buddha pada masyarakat lokal akibat dari interaksi kedua 
kelompok masyarakat itu dalam kehidupan sehari-hari. Namun masyarakat Akit masih 
mempertahankan sebagian tradisi lamanya. Hal ini dapat dilihat dari bentuk-bentuk 
makamnya yang jauh berbeda dibandingkan dengan makam-makam masyarakat 
keturunan etnis Cina. Selain itu juga terlihat dari upacara-upacara tradisional yang 
diselenggarakan masyarakat Akit berkaitan dengan siklus hidup mereka, seperti 
kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dalam adat mereka dipimpin oleh seorang 
batin/beten. Matapencaharian mereka umumnya bertani dan berkebun. Kebiasaan 
lama seperti berburu sudah tidak dilakukan lagi meskipun sebagian masyarakatnya 
masih menyimpan peralatan seperti tombak (kojoh), dan sumpit (sumbit). Sebagian 
masih membuat perahu lesung untuk mencari ikan di sungai. 65
Jejak Arkeologis Di Pulau Rupat,…..
Menyusuri sungai Selat Morong dari Desa Titi Akar ke arah timur dengan 
menggunakan perahu bermesin sekitar 1 jam, akan sampai ke Desa Hutan Panjang,
Kecamatan Rupat. Di Desa berdiam masyarakat Akit kelompok rakit. Berbeda dengan 
kondisi masyarakat Akit di Desa Titi Akar yang telah berbaur dengan masyarakat 
keturunan etnis Cina, masyarakat Akit di Desa Hutan Panjang cenderung masih 
memegang adat-istiadat lama sehingga kehidupannya masih kental dengan upacaraupacara tradisional. Upacara-upacaranya juga masih dipengaruhi kepercayaan 
animisme/dinamisme, sekalipun mereka kini juga sebagian menjadi penganut agama 
Buddha. Persentuhan dengan budaya Islam juga terjadi sehingga tradisinya sebagian 
juga mirip dengan yang dilaksanakan masyarakat Melayu yang sudah memeluk Islam. 
Upacara yang berkaitan dengan siklus hidup dilaksanakan masyarakatnya seperti 
kenduri untuk menyambut  kelahiran,  khitan,  perkawinan, dan kematian. Upacaraupacara adat yang lain juga dilakukan seperti upacara pembuatan rumah, upacara 
sebelum penanaman padi, dan  bersih desa. Demikian juga dengan pengobatan 
penyakit terkadang juga masih secara tradisional dan dipercayakan pada seorang 
Bomo (dukun). Salah satu peralatan yang digunakan Bomo untuk pengobatan disebut 
Balai (bentuknya mirip dengan miniatur rumah, di bagian dalam dan luarnya 
merupakan tempat untuk meletakkan sesajian). Selain itu mereka juga memiliki 
pemimpin yang disebut batin/beten. 
Masyarakat Akit dahulu kehidupannya dengan melakukan kegiatan berburu, meramu, 
dan mencari ikan, namun kini konsentrasi perekonomian masyarakat lebih banyak 
pada bidang pertanian dan perkebunan. Kegiatan mencari ikan di laut dan sungai 
hanya sekitar 10% saja dari matapencaharian lain. Selain padi, buah-buahan, dan 
sayuran, tanaman karet merupakan tanaman yang menunjang perekonomian 
masyarakat itu kini. Sekitar 800 Ha kebun karet diusahakan masyarakatnya. Interaksi 
dengan masyarakat lain seperti Jawa yang menghuni desa-desa di sekitarnya menjadi 
salah satu penyebab berkembangnya kegiatan perekonomian masyarakat tersebut. 
Interaksi dengan masyarakat lain dipermudah dengan banyaknya jalan-jalan yang 
dibangun untuk menghubungkan Desa Hutan Panjang dengan desa-desa sekitarnya 
seperti Desa Pangkalan Nyirih, Desa Makeruh, dan Desa Sei Cingam. 66
Foto 1 & 2. Gong dan bebana di Desa Hutan Panjang
Peralatan tradisional, sekalipun sudah banyak meninggalkan kegiatan berburu, 
meramu, dan mencari ikan, sebagian masyarakat masih menyimpan peralatan lama 
seperti jerat rusa, tombak (kojor/kojoh), sumpit (sumbit), dan mata sumpit (pono 
demek) untuk berburu, kemudian  lukah, sehambang, penganak, penggi, hawai dan 
gundang  untuk mencari ikan, dan  pahut sagu, ayak sagu untuk mengolah tanaman 
sagu. Selain itu juga dikenal alat musik yang digunakan pada kegiatan upacara adat 
berupa gong kecil berbahan tembaga dan perunggu, serta  bebana terbuat dari kulit 
lutung yang diikat ke kayu perading dan dililit rotan. 
Beberapa hal lain masih dipertahankan oleh masyarakat tersebut di dalam kehidupan 
sehari-harinya. Di dalam pendirian rumah misalnya, sebagian masih mempertahankan 
tradisi lama dengan membuat rumah-rumah berkonstruksi panggung, berdinding dan 
berlantai kayu, serta beratap rumbia. Keahlian dalam pembuatan perahu kayu juga 
masih diwariskan secara turun-temurun. Keberadaan bengkel pembuatan perahu kayu 
di tepi sungai desa tersebut menjadi bukti masih adanya aktivitas tersebut. Perahuperahu yang dibuat umumnya perahu papan (planked boat), sedangkan perahu lesung 
(dug-out canoe) sudah jarang dibuat. 
Makam Suku Akit, letaknya sekitar 600 m dari perkampungan, pada areal 200 m x 70 
m. Makam-makam berorientasi timur—barat, menggunakan tipe nisan yang sering 
terdapat pada makam Islam seperti tipe gada dan pipih. Nisan pipih digunakan untuk 
makam perempuan, sedangkan nisan gada digunakan untuk nisan laki-laki. Menurut 
informasi dahulu lokasi makam berada tidak jauh dari sungai sekitar 60 meter dari 
lokasi sekarang. Salah satu makam yang cukup tua adalah makam Pangol  – Beten 67
Jejak Arkeologis Di Pulau Rupat,…..
Kuat dan Selih – anak Beten Kenududuk. Makam tersebut adalah makam kepala suku 
terdahulu. 
Kemudian berdekatan dengan pesisir pantai timur Pulau Rupat terdapat Desa 
Makeruh, Kecamatan Rupat. Tinggalan arkeologis yang terdapat di desa itu adalah;
Tempat Pembakaran Arang,  lokasinya berada di pinggir sungai Dusun Simpang 
Makmur, Desa Makeruh. Tempat pembakaran arang ini berjumlah 3 buah, berbentuk 
kubah berdiameter 12 m dan tinggi 6 m. Ukuran bangunan mulai dari bangunan di 
bagian timur yaitu 5 m x 4 m, 16 m x 6 m, dan 4 m x 4 m. Pada salah satu sisinya 
terdapat sebuah lubang pembakaran berbentuk persegi empat dengan bagian atasnya 
berbentuk lancip. Lubang ini difungsikan sebagai tempat memasukkan bahan kayu 
untuk diproses menjadi arang. 
Keberadaan Keluarga Tan di dusun ini juga berkaitan dengan keberadaan aktivitas 
pengolahan kayu bakau untuk dijadikan arang. Salah satu makam yang cukup tua dari 
keluarga ini terdapat di pintu masuk kampung yang ditandai dengan sisa nisan 
berbahan granit serta arealnya yang lebih tinggi  berkisar setengah meter dari 
sekitarnya, dengan luas sekitar 25 m
2
. Makam itu berorientasi baratlaut--tenggara, 
yang telah ada sekitar 130 tahun yang lalu (5 generasi dari keturunannya kini).
Berbatasan dengan Desa Makeruh terdapat Desa Kador yang termasuk wilayah 
Kecamatan Rupat Selatan.Adapun tinggalan arkeologis di desa tersebut adalah;
Makam Putri Sembilan, lokasinya masuk ke dalam wilayah administrasi Dusun III 
Parit Baru, Desa Kador. Makam Putri Sembilan merupakan dua buah makam yang 
ditandai dengan adanya deretan batuan pasir dan laterit yang disusun membentuk 
persegiempat panjang. Pada bagian tengah masing-masing makam tersebut juga 
disusun berderet batuan yang sama dalam posisi memanjang juga. Makam Sembilan 
berada pada DAS Sungai Dibong yang airnya bermuara di Selat Pao. Areal sekeliling 
makam relatif lebih tinggi dari areal sekitarnya dan sebagian masih tampak parit yang 
mengitarinya. Panjang makam berkisar 6,5 meter dan lebar berkisar 2 meter dengan 
orientasi barat--timur. Makam ini dulunya hanya sebuah dan pada tahun 1975, 
kemudian oleh masyarakat dijadikanlah dua makam.68
Makam China/Kongsi, merupakan makam bersama masyarakat Cina di Desa Kador, 
Lelong, Selat Kering, dan Desa Sungai Ipong. Areal yang luasnya sekitar 1 Ha ini 
berada di sekitar pertemuan empat sungai yang disebut Kuala Simpang. Areal 
pemakaman datar dan agak tinggi yang ditumbuhi ilalang dan nibung, berukuran 
sekitar 200 m x 100 m. Makam yang tua di kompleks ini yang berorientasi timurlautbaratdaya berukuran panjang 350 cm, lebar 120 cm, dan tinggi 50 cm. Makam tersebut 
berbentuk persegi panjang dan bagian atasnya cembung, sehingga potongannya 
tampak seperti setengah lingkaran.
2.2. Sisa permukiman lama di pesisir selatan Pulau Rupat
Bagian pesisir selatan Pulau Rupat berada di  wilayah Kecamatan Rupat. Tinggalan 
arkeologisnya antara lain bangunan kolonial, kompleks Makam Cina/Bong,  makammakam Islam (kompleks Makam Keramat Batu Panjang, Makam Putri, dan makammakam di sekitar Mesjid Al-Mujaahidiin), dan bangunan lama etnis Cina. Selain itu juga 
ditemukan tinggalan artefaktual di sepanjang pesisir selatan pantainya.
Bangunan Kolonial,  lokasinya sekitar 175 m di bagian timurlaut dermaga Batu 
Panjang sekarang. Salah satu bangunan yang masih berdiri berdinding papan dan 
beratap seng. Bangunan tersebut pada masanya merupakan kantor namun kini 
digunakan sebagai rumah penduduk. 
Kompleks makam Cina/Bong, di tepi pantai sekitar 360 m sebelah barat Kantor 
Kecamatan Rupat. Umumnya makam-makam tersebut berbentuk gundukan bersemen, 
di sekelilingnya diberi pembatas berbentuk setengah lingkaran, bagian depannya 
nisan. Pada bagian yang terkelupas lapisan semennya terlihat bata dengan cetakan 
tulisan UBP, UBS, IML. Disebutkan bata-bata tersebut merupakan bata impor dari 
Singapura. Makam-makam menghadap ke arah laut yang terletak di bagian selatan. 
Kompleks Makam Keramat Batu Panjang, berada di RT 12 Kelurahan Terkul, 
Kecamatan Rupat,  pada koordinat 01
o
42.098’ LU dan 101
o
31.998’ (47 N 0781862, 
UTM 0188266). Makam yang disebut Batu Panjang itu kini telah pecah dan puingpuingnya berserakan di tepi pantai. Ukuran pagarnya dari bagian yang agak utuh tinggi 
70 cm, dan tebal 15 cm, dan ukuran bata yang digunakan 25 cm x 15 cm x 5 cm. 69
Jejak Arkeologis Di Pulau Rupat,…..
Dahulu makam itu merupakan makam kandang berbentuk segiempat berukuran 
panjang sekitar 2 m. Tidak jauh dari lokasi serakan tersebut juga terdapat serakan 
nisan-nisan berhias lainnya. 
Di bagian daratan masih tersisa nisan-nisan lain, yang  menunjukkan lokasi itu 
merupakan kompleks makam lama.  Luas arealnya sekitar 4.200 m
2
. Adapun bentuk 
nisan yang digunakan antara lain nisan gada, pipih, bersayap (batu Aceh), dan 
segiempat dengan ukuran bervariasi. Jenis batu yang digunakan untuk nisan-nisan itu 
antara lain batu tufaan, andesit, dan basalt. Pemakaman ini  sudah banyak dilupakan 
orang, karena dipenuhi semak belukar dan harus menunggu pasang surut air laut. 
Makam Putri,  berjarak sekitar 360 m di bagian utara lokasi tapak rumah Penghulu 
Muhammad. Makam berjirat segiempat berukuran 204 cm x 82 cm ini berbahan bata, 
bersemen dan spesi, serta menggunakan nisan bersayap (batu Aceh) berbahan batu 
tufaan. Ukuran nisan itu tinggi 63 cm, lebar 24 cm, dan tebal 9 cm. 
Makam-makam di sekitar Mesjid Al-Mujaahidiin,  di wilayah Kelurahan Kampung 
Tengah.  Makam-makam di luar bangunan, di bagian barat dan selatan mesjid 
sebagian merupakan makam lama. Di bagian baratlaut terdapat makam tokoh-tokoh 
yang pernah menjadi imam di mesjid tersebut. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Haji 
Mustafa dan anaknya Imam Ibrahim. Imam Ibrahim pada tahun 1932 masih menjadi 
imam mesjid tersebut. 
Mesjid Al-Mujaahidiin adalah mesjid lama yang telah banyak mengalami renovasi. 
Pada tahun 1932 bangunannya masih berkonstruksi panggung, berdinding papan, 
beratap rumbia, dan bagian puncak berbentuk atap tumpang. Pada tahun 1940 bagian 
atap diganti dengan seng. Selanjutnya pada tahun 1962 dirombak menjadi berdinding 
tembok, berlantai semen, beratap seng dengan bagian puncak berbentuk kubah 
seperti sekarang. Bagian penyangga kubah menggunakan papan kayu berdenah 
persegiempat. Kemudian pada  tahun 1989 bangunannya ditambah dengan bagian 
serambi. Selanjutnya dilakukan  penggantian bagian lantai dengan bahan keramik. 
Bangunan ini berdenah segi empat berukuran 12,5 m x 11,40 m. Mihrab terletak di 
bagian baratlaut, berukuran 4,2 m x 3,11 m.70
Bangunan lama etnis Cina,
berada sekitar 560 m  di bagian 
barat mesjid Al- Mujaahidiin. 
Bangunan rumah ini sekitar 120 
m di bagian selatan pantai dan 
koordinat  01
o
42.440’ LU dan 
101
o
31.109’ (47 N 0780211, 
UTM 0188895). Rumah-rumah 
Cina yang tersisa kini 
bangunannya menghadap ke 
arah jalan (utara).  Arsitektur 
bangunannya yang khas, 
menggunakan konstruksi rumah panggung berdinding papan dan beratap seng, 
sebagian berlantai dua.  Rumah-rumah itu kini sebagian telah ditinggalkan oleh 
penghuninya. Menurut informasi rumah-rumah tersebut sudah berdiri pada tahun 1920. 
Di sekitar rumah-rumah tersebut juga terdapat makam-makam keluarga. 
Tinggalan artefaktual,  berupa meriam, fragmen keramik, fragmen tembikar,dan 
fragmen kaca. Dua buah meriam ditemukan di  Desa Tanjung Kapal, sedangkan 
serakan fragmen keramik, tembikar, dan fragmen kaca ditemukan di tepi pantai bagian 
selatan Mesjid Al – Mujaahidiin, tapak rumah Penghulu Muhammad, kompleks makam 
keramat Batu Panjang,  serta di sekitar  bong (makam Cina), dan dermaga Batu 
Panjang sekarang.  Artefaknya berupa fragmen keramik yang diidentifikasi sebagai 
bagian tepian, badan, dan dasar dari bentuk piring, mangkuk (besar, kecil), sendok, 
mercury jar, botol, cangkir, guci/tempayan (besar, kecil) dan tutup guci. Selanjutnya 
diketahui bahwa fragmen keramik itu merupakan keramik Cina dari abad ke-13--14 
berasal dari dapur pembuatan di Fujian/Putian, keramik Ming dari abad ke-15--17, 
keramik Swatow dari abad ke-17--18, keramik Qing dari abad ke-17--18, serta keramik 
Vietnam abad ke-17--18, keramik  martaban  (Burma) abad ke-18--19, dan keramik 
Eropa abad ke-17--20. Di antara fragmen keramik tersebut terdapat fragmen tembikar 
dan fragmen kaca. Fragmen tembikar diidentifikasi berbahan adonan kasar merupakan 
bagian dari wadah tempayan, periuk, pecahan cetakan, dan pegangan tutup. 
Selanjutnya melalui fragmen kaca diketahui merupakan bagian tepian, badan, dan 
dasar botol beragam bentuk dan ukuran. Botol-botol tersebut diperkirakan merupakan 
botol-botol dari Eropa, diantaranya terdapat pertulisan angka tahun 1949.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JUARA 2 TEKNOLOGI TEPAT GUNA SEKABUPATEN BENGKALIS

TEKNOLOGI TEPAT GUNA ALAT KUKUR KELAPA(HENDRI GUNAWAN) by hendri gunawan on Scribd