Sejarah Pulau Rupat
Sejarah Pulau Rupat , Pulau Rupat,Pantai Pasir .
Pulau Rupat, salah satu beranda Indonesia yang terletak di gugusan dalam Kabupaten Bengkalis. Luas pulau ini hanya 1.500 km persegi, atau tiga kali lebih luas dari negara Singapura.
Menuju pulau terluar hanya bisa mengandalkan transportasi laut. Pelabuhan Sungai Duku menjadi titik perjalanan menuju Rupat.
Ada transportasi umum yang menyediakan jasa langsung menuju Rupat,dari Sungai Dumai langsung menuju ke Pajak bagian utara pulau Rupat dengan menggunakan jupiter express,dan kita juga bisa menggunakan sepeda motor dari dumai melalui penyebrangan RO-RO.
Pulau Rupat terbagi menjadi dua kecamatan, Rupat dan Rupat Utara. Menelusuri pulau ini seperti pergi ke tanah asing. Suasana tradisional dan infrastruktur terbatas jadi potret keseharian.
Masyarakat Rupat menyandarkan kehidupan pada alam. Hampir di setiap sudut, kebun sawit dan karet tumbuh menutup pandangan. Transportasi dan jarak yang jauh ke ibukota, menyebabkan mereka lebih memilih menjual hasil panen ke Malaysia. Belum lagi harga yang ditawarkan lebih tinggi.
Perjalanan belum lengkap jika tak menjelajah ke Rupat Utara, bagian pulau ini yang dekat dengan Malaysia. Jalan rusak dan berdebu jadi pemandangan selama perjalanan. Sepeda motor menjadi satu-satunya alat transportasi di sini.
Mencapai Rupat Utara, tim harus menyeberangi sejumlah anak sungai. Begitulah masyarakat setiap harinya untuk mencapai Desa Pangkalan Nyirih, Selat Morong.
Belum lama menyusuri jalan tanah, Untuk menyeberang ke Desa Kadur,
Perjalanan panjang dan melelahkan, membawa saya sampai ke Rupat Utara. Pantai Panjang, seperti lukisan alam nan indah dengan pasir putihnya yang menghampar sejauh 13 kilometer.Keseharian masyarakat Rupat Utara adalah tayangan televisi asal Malaysia. Untuk menangkap siaran negeri jiran hanya butuh antena biasa, sementara untuk menangkap siaran negeri sendiri harus butuh biaya yang tinggi dengan memasang parabola.
Suasana berbeda, ketika tim tiba di perkampungan Tanjung Medang. Wilayah ini didominasi etnik Tionghoa. Altar sembahyang dan bendera leluhur terpasang di sudut halaman.
Masyarakat di sini kebanyak jadi penderas karet, atau budidaya sarang walet. Tapi sayang, semua hasilnya dibawa ke Malaysia. Pertimbangan jarak yang membuat itu terus berlangsung hingga sekarang.
Sepertinya, Malaysia lebih dikenal dibandingkan Indonesia bukan karena lebih makmur, tapi lebih pada kebutuhan hidup.
Di Teluk Rhu, tim menyambangi perkampungan nelayan. Banyak warga Rupat Utara di sini yang berkerabat dengan warga Malaysia seprofesi.Kedekatan lokasi, tingginya aktivitas perdagangan antara warga Rupat Utara dan Malaysia, membuat alat tukar di sini banyak pilihan. Bisa Rupiah, bisa Ringgit.di sana kita temui hal yang unik , kebanyakan penduduk menggunakan kendaraan roda dua asal Malaysia.Desa Titi Akar, berlokasi di jantung Pulau Rupat. Suku Akit, etnis pertama yang mendiami pulau ini. Perjalanan pun hanya bisa melalui jalur laut. Dermaga Titi Akar menyambut kedatangan saya dengan warna merah menyala.
Cin Buk Kiong, kelenteng paling tua di Provinsi Riau menjadi sejarah masuknya etnik Tionghoa di Rupat. Kelenteng ini dibangun dengan bahan bangunan dari negara tetangga. Genteng asal Malaysia dan batu bata asal Singapura.Ketergantungan yang tak akan pernah bisa
lepas.
Ragam tinggalan arkeologis di Pulau Rupat
Tinggalan arkeologis dan catatan etnografis di DAS Selat Morong
Di DAS Selat Morong bagian barat terdapat Desa Titi Akar yang termasuk dalam
wilayah Kecamatan Rupat Utara. Masyarakat yang berdiam di Desa Titi Akar sebagian
keturunan etnis Cina, dan sebagian adalah masyarakat yang telah lama menghuni
Pulau Rupat dikenal dengan masyarakat Akit dari kelompok ratas. Keturunan etnis
Cina sudah cukup lama tinggal di Desa Titi Akar, sebagian besar bermatapencaharian
di bidang perdagangan. Masyarakat keturunan etnis Cina umumnya memeluk agama
Buddha. Salah satu bukti komunitas ini telah berdiam cukup lama di desa itu adalah
keberadaan kelenteng yang merupakan bangunan suci masyarakat Cina.
Kelenteng Cin Buk Kiong, sekitar 200 m di sebelah selatan Kantor Kepala Desa Titi
Akar. Kelenteng di tepi sungai Selat Morong ini berada di pemukiman penduduk.
Kelenteng Kong Hu Cu ini merupakan bangunan lama yang sudah berdiri sekitar 125
tahun yang lalu.
Kondisi bangunannya sudah mengalami beberapa kali renovasi. Bangunan kelenteng
berdinding tembok sejak 50 tahun yang lalu ini sebelumnya berdinding papan kayu.
Bata dan lantai lama diganti ketika dilakukan renovasi sekitar dua tahun yang lalu dan
kini disimpan di gudang. Barang-barang tersebut didatangkan dari luar negeri. Pada
bata-bata itu terdapat tulisan made in Singapore, sedangkan lantai batu granit
didatangkan dari Cina. 64
Bangunan kelenteng terdiri dari ruang utama dan beberapa ruangan penunjang. Pada
ruangan utara terdapat beberapa arca pemujaan, seperti arca dewa tiga bersaudara
Tio Wan Soe (panglima perang dengan wahana harimau berada di tengah), Khong
Wan Soe, dan To Shi Kong. Selain arca juga disimpan senjata-senjata yang
merupakan atribut dewa berupa kapak, pedang (kuan ta), bola duri (ci kiu), gada (kun),
pedang ikan gergaji (kian sua kian). Senjata-senjata tersebut merupakan peralatan
yang digunakan pada saat dilakukannya upacara-upacara dalam ajaran Kong Hu Cu.
Makam Cina/Bong, letaknya sekitar 150 meter sebelah utara kelenteng pada areal
seluas 12.000 m
2
. Di tempat tersebut terdapat Ban Ho Khong, yaitu tempat ritual yang
diselenggarakan setahun sekali. Umumnya makam-makam yang ada dibangun
disesuaikan dengan Hong Sui, yaitu pembangunan makam di bagian atasnya harus
terbuka tidak disemen. Kemudian di bagian depannya tempat meletakkan altar,
lantainya dibangun melandai ke arah dalam.
Makam Suku Akit, dibatasi parit selebar 1 m, di sebelah utara pemakaman Cina
adalah makam masyarakat Akit. Bentuk cungkup di bagian atas makam menandai
keberadaan makam-makam itu. Makam berorientasi timur-barat, bagian kepala di
barat, dan bagian kaki di timur.
Masyarakat Akit yang tinggal di Desa Titi Akar sebelumnya penganut kepercayaan
animisme/dinamisme namun kini sebagian besar telah memeluk agama Buddha.
Masuknya pengaruh agama Buddha pada masyarakat lokal akibat dari interaksi kedua
kelompok masyarakat itu dalam kehidupan sehari-hari. Namun masyarakat Akit masih
mempertahankan sebagian tradisi lamanya. Hal ini dapat dilihat dari bentuk-bentuk
makamnya yang jauh berbeda dibandingkan dengan makam-makam masyarakat
keturunan etnis Cina. Selain itu juga terlihat dari upacara-upacara tradisional yang
diselenggarakan masyarakat Akit berkaitan dengan siklus hidup mereka, seperti
kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dalam adat mereka dipimpin oleh seorang
batin/beten. Matapencaharian mereka umumnya bertani dan berkebun. Kebiasaan
lama seperti berburu sudah tidak dilakukan lagi meskipun sebagian masyarakatnya
masih menyimpan peralatan seperti tombak (kojoh), dan sumpit (sumbit). Sebagian
masih membuat perahu lesung untuk mencari ikan di sungai. 65
Jejak Arkeologis Di Pulau Rupat,…..
Menyusuri sungai Selat Morong dari Desa Titi Akar ke arah timur dengan
menggunakan perahu bermesin sekitar 1 jam, akan sampai ke Desa Hutan Panjang,
Kecamatan Rupat. Di Desa berdiam masyarakat Akit kelompok rakit. Berbeda dengan
kondisi masyarakat Akit di Desa Titi Akar yang telah berbaur dengan masyarakat
keturunan etnis Cina, masyarakat Akit di Desa Hutan Panjang cenderung masih
memegang adat-istiadat lama sehingga kehidupannya masih kental dengan upacaraupacara tradisional. Upacara-upacaranya juga masih dipengaruhi kepercayaan
animisme/dinamisme, sekalipun mereka kini juga sebagian menjadi penganut agama
Buddha. Persentuhan dengan budaya Islam juga terjadi sehingga tradisinya sebagian
juga mirip dengan yang dilaksanakan masyarakat Melayu yang sudah memeluk Islam.
Upacara yang berkaitan dengan siklus hidup dilaksanakan masyarakatnya seperti
kenduri untuk menyambut kelahiran, khitan, perkawinan, dan kematian. Upacaraupacara adat yang lain juga dilakukan seperti upacara pembuatan rumah, upacara
sebelum penanaman padi, dan bersih desa. Demikian juga dengan pengobatan
penyakit terkadang juga masih secara tradisional dan dipercayakan pada seorang
Bomo (dukun). Salah satu peralatan yang digunakan Bomo untuk pengobatan disebut
Balai (bentuknya mirip dengan miniatur rumah, di bagian dalam dan luarnya
merupakan tempat untuk meletakkan sesajian). Selain itu mereka juga memiliki
pemimpin yang disebut batin/beten.
Masyarakat Akit dahulu kehidupannya dengan melakukan kegiatan berburu, meramu,
dan mencari ikan, namun kini konsentrasi perekonomian masyarakat lebih banyak
pada bidang pertanian dan perkebunan. Kegiatan mencari ikan di laut dan sungai
hanya sekitar 10% saja dari matapencaharian lain. Selain padi, buah-buahan, dan
sayuran, tanaman karet merupakan tanaman yang menunjang perekonomian
masyarakat itu kini. Sekitar 800 Ha kebun karet diusahakan masyarakatnya. Interaksi
dengan masyarakat lain seperti Jawa yang menghuni desa-desa di sekitarnya menjadi
salah satu penyebab berkembangnya kegiatan perekonomian masyarakat tersebut.
Interaksi dengan masyarakat lain dipermudah dengan banyaknya jalan-jalan yang
dibangun untuk menghubungkan Desa Hutan Panjang dengan desa-desa sekitarnya
seperti Desa Pangkalan Nyirih, Desa Makeruh, dan Desa Sei Cingam. 66
Foto 1 & 2. Gong dan bebana di Desa Hutan Panjang
Peralatan tradisional, sekalipun sudah banyak meninggalkan kegiatan berburu,
meramu, dan mencari ikan, sebagian masyarakat masih menyimpan peralatan lama
seperti jerat rusa, tombak (kojor/kojoh), sumpit (sumbit), dan mata sumpit (pono
demek) untuk berburu, kemudian lukah, sehambang, penganak, penggi, hawai dan
gundang untuk mencari ikan, dan pahut sagu, ayak sagu untuk mengolah tanaman
sagu. Selain itu juga dikenal alat musik yang digunakan pada kegiatan upacara adat
berupa gong kecil berbahan tembaga dan perunggu, serta bebana terbuat dari kulit
lutung yang diikat ke kayu perading dan dililit rotan.
Beberapa hal lain masih dipertahankan oleh masyarakat tersebut di dalam kehidupan
sehari-harinya. Di dalam pendirian rumah misalnya, sebagian masih mempertahankan
tradisi lama dengan membuat rumah-rumah berkonstruksi panggung, berdinding dan
berlantai kayu, serta beratap rumbia. Keahlian dalam pembuatan perahu kayu juga
masih diwariskan secara turun-temurun. Keberadaan bengkel pembuatan perahu kayu
di tepi sungai desa tersebut menjadi bukti masih adanya aktivitas tersebut. Perahuperahu yang dibuat umumnya perahu papan (planked boat), sedangkan perahu lesung
(dug-out canoe) sudah jarang dibuat.
Makam Suku Akit, letaknya sekitar 600 m dari perkampungan, pada areal 200 m x 70
m. Makam-makam berorientasi timur—barat, menggunakan tipe nisan yang sering
terdapat pada makam Islam seperti tipe gada dan pipih. Nisan pipih digunakan untuk
makam perempuan, sedangkan nisan gada digunakan untuk nisan laki-laki. Menurut
informasi dahulu lokasi makam berada tidak jauh dari sungai sekitar 60 meter dari
lokasi sekarang. Salah satu makam yang cukup tua adalah makam Pangol – Beten 67
Jejak Arkeologis Di Pulau Rupat,…..
Kuat dan Selih – anak Beten Kenududuk. Makam tersebut adalah makam kepala suku
terdahulu.
Kemudian berdekatan dengan pesisir pantai timur Pulau Rupat terdapat Desa
Makeruh, Kecamatan Rupat. Tinggalan arkeologis yang terdapat di desa itu adalah;
Tempat Pembakaran Arang, lokasinya berada di pinggir sungai Dusun Simpang
Makmur, Desa Makeruh. Tempat pembakaran arang ini berjumlah 3 buah, berbentuk
kubah berdiameter 12 m dan tinggi 6 m. Ukuran bangunan mulai dari bangunan di
bagian timur yaitu 5 m x 4 m, 16 m x 6 m, dan 4 m x 4 m. Pada salah satu sisinya
terdapat sebuah lubang pembakaran berbentuk persegi empat dengan bagian atasnya
berbentuk lancip. Lubang ini difungsikan sebagai tempat memasukkan bahan kayu
untuk diproses menjadi arang.
Keberadaan Keluarga Tan di dusun ini juga berkaitan dengan keberadaan aktivitas
pengolahan kayu bakau untuk dijadikan arang. Salah satu makam yang cukup tua dari
keluarga ini terdapat di pintu masuk kampung yang ditandai dengan sisa nisan
berbahan granit serta arealnya yang lebih tinggi berkisar setengah meter dari
sekitarnya, dengan luas sekitar 25 m
2
. Makam itu berorientasi baratlaut--tenggara,
yang telah ada sekitar 130 tahun yang lalu (5 generasi dari keturunannya kini).
Berbatasan dengan Desa Makeruh terdapat Desa Kador yang termasuk wilayah
Kecamatan Rupat Selatan.Adapun tinggalan arkeologis di desa tersebut adalah;
Makam Putri Sembilan, lokasinya masuk ke dalam wilayah administrasi Dusun III
Parit Baru, Desa Kador. Makam Putri Sembilan merupakan dua buah makam yang
ditandai dengan adanya deretan batuan pasir dan laterit yang disusun membentuk
persegiempat panjang. Pada bagian tengah masing-masing makam tersebut juga
disusun berderet batuan yang sama dalam posisi memanjang juga. Makam Sembilan
berada pada DAS Sungai Dibong yang airnya bermuara di Selat Pao. Areal sekeliling
makam relatif lebih tinggi dari areal sekitarnya dan sebagian masih tampak parit yang
mengitarinya. Panjang makam berkisar 6,5 meter dan lebar berkisar 2 meter dengan
orientasi barat--timur. Makam ini dulunya hanya sebuah dan pada tahun 1975,
kemudian oleh masyarakat dijadikanlah dua makam.68
Makam China/Kongsi, merupakan makam bersama masyarakat Cina di Desa Kador,
Lelong, Selat Kering, dan Desa Sungai Ipong. Areal yang luasnya sekitar 1 Ha ini
berada di sekitar pertemuan empat sungai yang disebut Kuala Simpang. Areal
pemakaman datar dan agak tinggi yang ditumbuhi ilalang dan nibung, berukuran
sekitar 200 m x 100 m. Makam yang tua di kompleks ini yang berorientasi timurlautbaratdaya berukuran panjang 350 cm, lebar 120 cm, dan tinggi 50 cm. Makam tersebut
berbentuk persegi panjang dan bagian atasnya cembung, sehingga potongannya
tampak seperti setengah lingkaran.
2.2. Sisa permukiman lama di pesisir selatan Pulau Rupat
Bagian pesisir selatan Pulau Rupat berada di wilayah Kecamatan Rupat. Tinggalan
arkeologisnya antara lain bangunan kolonial, kompleks Makam Cina/Bong, makammakam Islam (kompleks Makam Keramat Batu Panjang, Makam Putri, dan makammakam di sekitar Mesjid Al-Mujaahidiin), dan bangunan lama etnis Cina. Selain itu juga
ditemukan tinggalan artefaktual di sepanjang pesisir selatan pantainya.
Bangunan Kolonial, lokasinya sekitar 175 m di bagian timurlaut dermaga Batu
Panjang sekarang. Salah satu bangunan yang masih berdiri berdinding papan dan
beratap seng. Bangunan tersebut pada masanya merupakan kantor namun kini
digunakan sebagai rumah penduduk.
Kompleks makam Cina/Bong, di tepi pantai sekitar 360 m sebelah barat Kantor
Kecamatan Rupat. Umumnya makam-makam tersebut berbentuk gundukan bersemen,
di sekelilingnya diberi pembatas berbentuk setengah lingkaran, bagian depannya
nisan. Pada bagian yang terkelupas lapisan semennya terlihat bata dengan cetakan
tulisan UBP, UBS, IML. Disebutkan bata-bata tersebut merupakan bata impor dari
Singapura. Makam-makam menghadap ke arah laut yang terletak di bagian selatan.
Kompleks Makam Keramat Batu Panjang, berada di RT 12 Kelurahan Terkul,
Kecamatan Rupat, pada koordinat 01
o
42.098’ LU dan 101
o
31.998’ (47 N 0781862,
UTM 0188266). Makam yang disebut Batu Panjang itu kini telah pecah dan puingpuingnya berserakan di tepi pantai. Ukuran pagarnya dari bagian yang agak utuh tinggi
70 cm, dan tebal 15 cm, dan ukuran bata yang digunakan 25 cm x 15 cm x 5 cm. 69
Jejak Arkeologis Di Pulau Rupat,…..
Dahulu makam itu merupakan makam kandang berbentuk segiempat berukuran
panjang sekitar 2 m. Tidak jauh dari lokasi serakan tersebut juga terdapat serakan
nisan-nisan berhias lainnya.
Di bagian daratan masih tersisa nisan-nisan lain, yang menunjukkan lokasi itu
merupakan kompleks makam lama. Luas arealnya sekitar 4.200 m
2
. Adapun bentuk
nisan yang digunakan antara lain nisan gada, pipih, bersayap (batu Aceh), dan
segiempat dengan ukuran bervariasi. Jenis batu yang digunakan untuk nisan-nisan itu
antara lain batu tufaan, andesit, dan basalt. Pemakaman ini sudah banyak dilupakan
orang, karena dipenuhi semak belukar dan harus menunggu pasang surut air laut.
Makam Putri, berjarak sekitar 360 m di bagian utara lokasi tapak rumah Penghulu
Muhammad. Makam berjirat segiempat berukuran 204 cm x 82 cm ini berbahan bata,
bersemen dan spesi, serta menggunakan nisan bersayap (batu Aceh) berbahan batu
tufaan. Ukuran nisan itu tinggi 63 cm, lebar 24 cm, dan tebal 9 cm.
Makam-makam di sekitar Mesjid Al-Mujaahidiin, di wilayah Kelurahan Kampung
Tengah. Makam-makam di luar bangunan, di bagian barat dan selatan mesjid
sebagian merupakan makam lama. Di bagian baratlaut terdapat makam tokoh-tokoh
yang pernah menjadi imam di mesjid tersebut. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Haji
Mustafa dan anaknya Imam Ibrahim. Imam Ibrahim pada tahun 1932 masih menjadi
imam mesjid tersebut.
Mesjid Al-Mujaahidiin adalah mesjid lama yang telah banyak mengalami renovasi.
Pada tahun 1932 bangunannya masih berkonstruksi panggung, berdinding papan,
beratap rumbia, dan bagian puncak berbentuk atap tumpang. Pada tahun 1940 bagian
atap diganti dengan seng. Selanjutnya pada tahun 1962 dirombak menjadi berdinding
tembok, berlantai semen, beratap seng dengan bagian puncak berbentuk kubah
seperti sekarang. Bagian penyangga kubah menggunakan papan kayu berdenah
persegiempat. Kemudian pada tahun 1989 bangunannya ditambah dengan bagian
serambi. Selanjutnya dilakukan penggantian bagian lantai dengan bahan keramik.
Bangunan ini berdenah segi empat berukuran 12,5 m x 11,40 m. Mihrab terletak di
bagian baratlaut, berukuran 4,2 m x 3,11 m.70
Bangunan lama etnis Cina,
berada sekitar 560 m di bagian
barat mesjid Al- Mujaahidiin.
Bangunan rumah ini sekitar 120
m di bagian selatan pantai dan
koordinat 01
o
42.440’ LU dan
101
o
31.109’ (47 N 0780211,
UTM 0188895). Rumah-rumah
Cina yang tersisa kini
bangunannya menghadap ke
arah jalan (utara). Arsitektur
bangunannya yang khas,
menggunakan konstruksi rumah panggung berdinding papan dan beratap seng,
sebagian berlantai dua. Rumah-rumah itu kini sebagian telah ditinggalkan oleh
penghuninya. Menurut informasi rumah-rumah tersebut sudah berdiri pada tahun 1920.
Di sekitar rumah-rumah tersebut juga terdapat makam-makam keluarga.
Tinggalan artefaktual, berupa meriam, fragmen keramik, fragmen tembikar,dan
fragmen kaca. Dua buah meriam ditemukan di Desa Tanjung Kapal, sedangkan
serakan fragmen keramik, tembikar, dan fragmen kaca ditemukan di tepi pantai bagian
selatan Mesjid Al – Mujaahidiin, tapak rumah Penghulu Muhammad, kompleks makam
keramat Batu Panjang, serta di sekitar bong (makam Cina), dan dermaga Batu
Panjang sekarang. Artefaknya berupa fragmen keramik yang diidentifikasi sebagai
bagian tepian, badan, dan dasar dari bentuk piring, mangkuk (besar, kecil), sendok,
mercury jar, botol, cangkir, guci/tempayan (besar, kecil) dan tutup guci. Selanjutnya
diketahui bahwa fragmen keramik itu merupakan keramik Cina dari abad ke-13--14
berasal dari dapur pembuatan di Fujian/Putian, keramik Ming dari abad ke-15--17,
keramik Swatow dari abad ke-17--18, keramik Qing dari abad ke-17--18, serta keramik
Vietnam abad ke-17--18, keramik martaban (Burma) abad ke-18--19, dan keramik
Eropa abad ke-17--20. Di antara fragmen keramik tersebut terdapat fragmen tembikar
dan fragmen kaca. Fragmen tembikar diidentifikasi berbahan adonan kasar merupakan
bagian dari wadah tempayan, periuk, pecahan cetakan, dan pegangan tutup.
Selanjutnya melalui fragmen kaca diketahui merupakan bagian tepian, badan, dan
dasar botol beragam bentuk dan ukuran. Botol-botol tersebut diperkirakan merupakan
botol-botol dari Eropa, diantaranya terdapat pertulisan angka tahun 1949.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar